Selasa, 26 Mei 2009

FUNDAMENTALISME ISLAM

Pendahuluan

Komitmen anti-kekerasan merupakan tujuan luhur manusia. Siapa yang ingin ada pertumpahan darah, pembantaian wanita, dan anak-anak yang tak berdosa hidup dalam ancaman?[1] Tujuan luhur manusia itu sejajar dengan ajaran semua agama juga memiliki tujuan yang sama: kedamaian dan anti-kekerasan. Semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.

Islam, dilihat dari segi namanya saja merupakan agama yang unik, karena ia berarti “keselamatan”, “kedamaian”, atau “penyerahan diri secara total kepada Tuhan.” Inilah sesungguhnya makna firman Allah, Inna al-din ‘ind Allah al-Islam , (Q.s. Ali Imran/3:19) “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah ialah Islam”. Bila Islam diterjemahkan “perdamaian”, maka terjemahan ayat tersebut menjadi “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama perdamaian.” Dengan demikian, seorang Muslim adalah orang yang menganut agama perdamaian kepada seluruh umat manusia. Para nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw. menganut agama Islam[2] atau agama perdamaian itu. Pernyataan Nabi Ibrahim misalnya “La syarika lahu wabi dzalika umirtu wa ana awwalul muslimin “ (Tidak ada sekutu bagi-Nya dan demikian itu diperintahkan kepadaku dan aku adalah golongan orang-orang pertama yang menganut agama perdamaian”) (Q.s. Al An’am/6: 163).

Dalam kajian keislaman tidak pernah dikenal istilah fundamentalis, hal ini di perkenalkan oleh kalangan media-media dengan tujuan suatu kultus pengnggolongan kepada kaum islam yang radikal, anarkis, dan tercermin suka dengan tindakan kekerasan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka penulis ingin memperlihatkan apa dan bagaimana sebenarnya idiologi yang dianut oleh kalangan yang sering disebut sebagai kaum fundamentalis ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin…

Pembahasan

Fundamentalisme secara etimologi berasa dari kata fundamen yang berarti dasar. Secara terminology fundamentalisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (tektual). Mahmud Al-Alim mengatakan pemikiran fundamentalisme sudah ketinggalan jaman karena jaman selalu berubah, berbagai problematika semakin komplek. Bassam Tibi mengatakan bahwa fundamentalisme merupakan sebuah gejala idiologi yang muncul sebagai respon atas problem-problem globalisasi, fragmentasi dan benturan peradaban. (Abdurrahman Kasdi, 2002: 19) tetapi dalam perkembangan berikutnya fundamentalisme mengalami distorsi makna, bahkan sering dikonotasikan dengan istilah yang negative.

Beberapa karakter fundamentalisme adalah sebagai berikut: Pertama, fundamentalisme agama mempunyai agenda politisasi agama yang agresif dan dilakukan demi mencapai tujuan-tujuannya. Kedua, fundamentalisme baik Islam atau yang lain merupakan bentuk superficial dari terorisme atau ekstrimisme (Bassam Tibi, 2000; x ). Dari karakter di atas secara tidak langsung melabeli para fundamnentalis sebagai gerakan penteror dan penganggu orang di luar paham mereka.

Kaum fundamentalis memiliki platform tersendiri dan biasanya berbeda dari platform gerakan Islam lainnya. Menurut Abdurrahman Kasdi platform gerakan fundamentalisme adalah sebagai berikut: pertama, mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadapap teks-teks suci agama. Menolak pemahaman kontekstual atas teks agama, karena pemahaman itu mereduksi kesucian agama. Kedua, menolak pluralisme dan relativisme. Bagi mereka pluralisme merupakan distorsi pemahaman terhadap agama. Ketiga, memonopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalisme cenderung menganggap diri mereka sebagai pemegang otoritas penafsiran agama yang paling absah dan paling benar, sehingga cenderung menganggap sesat kepada kelompok lain yang tidak sealiran. Keempat, gerakan fundamentalisme mempunyai korelasi dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme dan militanisme. Fundamentalisme selalu mengambil bentuk perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, ( Abdurrahman Kasdi, 2002: 21).

Ketertutupan kaum fundamentalis dengan dunia luar membuat mereka merasa tidak butuh lagi dengan orang di luar kelompoknya. Mereka merasa paling benar dan paling berhak menginterpretasikan teks-teks suci agama. Sehingga apapun baiknya pendapat dan interpretasi di laur kelompoknya tidak akan mereka terima. Keadaan seperti ini menjadikan kelompok fundamentalis berkecenderungan berfikir parsial dan berpotensi besar menghasilkan konflik-konflik destruktif berkepanjangan dalam kehidupan sosial keagamaan. Malik fajar mengatakan fundamentalisme agama merupakan keberagamaan parsial yang berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan destruktif dalam kehidupan sosial.(Malik fajar,2000: ix).

Nurcholish Madjid [Cak Nur] mengatakan bahwa gejala destruktif itu tidak sebagai fundamentalisme keagamaan, tetapi hanya sebuah gejala sosial politik biasa. (Nucholish Madjid, 2004: 270). Dengan demikian sebenarnya fundamentalisme muncul akibat adanya kepentingan politik tertentu yang akhirnya direduksikan ke dalam ajaran agama, yang pada akhirnya menumbuhkan sikap eksklusifisme, ekstrimisme dan radikalisme. Lebih lanjut Cak Nur mengatakan bahwa perkataan fundamentalisme kurang tepat untuk melabelkannya pada gerakan keagamaan dalam Islam, sebab perkataan fundamentalisme muncul di Amerika pada kaum Kristen sekitar tahun 1920-an dengan ciri anti intelektualisme dan anti ilmu serta menolak keras teori ilmiah mutakhir saat itu.

Fundamentalisme di dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad kesembilan belas Masehi, dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu “Gerakan Millenium”. Gerakan ini mengimani kembalinya Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia.

Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan “mimpi Yohana” (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal.

Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20, terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminarnya, lembaga-lembaganya, serta melalui tulisan-tulisan para pendetanya yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk sekaligus. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Oleh karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya, seperti aborsi, pembatasan kelahiran, penyimpangan seksual, dan kampanye-kampanye untuk membela “hak-hak” orang-orang yang berperilaku seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok, dansa-dansi, hingga sosialisme. Itu semua adalah “fundamentalisme” dalam terminologi Barat dan dalam visi Kristen.

Lebih lanjut, Muhammad Said Al-Asyimawi membedakan antara activist political fundamentalis dan rational spiritualist fundamental. Istilah pertama merujuk kepada kelompok muslim memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik. Sedangkan istilah berikutnya lebih merujuk kepada kelompok muslim yang menginginkan kembali kepada ajaran Al-Quran dan tradisi yang dipraktekkan oleh generasi pertama (salaf) (Syafiq Hasyim,2002: 11). Sosiolog muslim Ilyas ba-Yunus dalam artikelnya menjelaskan pemakaian diskursus fundamentalisme untuk pertama kali muncul dalam sebuah konferensi mengenai Bible yang diselenggarakan di Nigara Falls New York.

Beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa istilah fundamentalisme yang dilabelkan kepada gerakan islam kurang tepat, apabila merujuk awal munculnya istilah tersebut. Terlepas dari berbagai kontroversi asal muasal istilah fundamentalisme yang jelas para intelektual muslim cenderung memakai istilah fundamentalisme bagi kelompok Islam yang radikal, eksklusi, rigid, dan tekstual dalam menafsirkan teks-teks suci agama. Bahkan intelektual Barat pun lebih senang menggunakan istilah fundamentalisme untuk kelompok Islam yang di anggap radikal dan ekstrim.

Fundamentalisme berkecenderungan menolak pluralitas, penolakan ini sebenarnya akibat tidak adanya kesamaan dalam intrepretasi tesk-teks suci agama, sehingga berbagai ragam pola penafsiran yang diluar pemahaman mereka adalah tidak benar. Mereka tidak menyadari bahwa Allah menciptakan tidak satu macam tetapi beragam corak, bentuk, warna dan pola pikir. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dari berbagai suku bangsa supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulai di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu, (Qs. Al-Hujarat: 13). Nabi Saw mengakui bahwa perbedaan di antara umatnya adalah rahmat yang patut disyukuri, bukan sebaiknya menjadi sumber pertengkaran dan kekacauan. Lebih menyedihkan lagi adalah sikap merasa lebih benar dan yang lain salah, padahal yang mempunyai kebenaran mutlak hanyalah Allah, “Segala kebenaran adalah milik Allah,”(QS. Al-Imran: 6).

Pengingkaran atas pluralitas merupakan penolakan akan otoritas Tuhan yang dengan sengaja menciptakan makhluknya berbeda-beda agar mereka saling mengenal dan membutuhkan satu sama lain. Pluralitas adalah sebuah kenyataan hidup yang tidak dapat diingkari. Kenyataan ini hendaknya menjadi renungan bagi mereka yang mengklaim diri mereka yang paling benar dan paling berhak untuk menafsirkan teks-teks suci agama.

Semua manusia mempunyai hak untuk mengembangkan intelektual mereka, hasil pemikiran majemuk hendaknya menjadi suatu kekayaan membangun dan saling melengkapi, karena tidak semua kita sempurna, adanya saling menghargai pendapat dan hasil karya orang lain akan membawa suasana kehidupan sosial keagamaan yang harmonis dan penuh kedamaian, inilah sebenarnya salah satu bentuk dari ketakwaan, yaitu menghargai hasil karya orang lain dan menganggap semua manusia sama di sisi Allah kecuali takwanya, orang yang bertakwa selalu menghargai orang lain.

Penghargaan akan perbedaan juga dicontohkan oleh para sahabat Nabi saw, meskipun ada perbedaan dalam interpretasi ajaran Nabi Saw mereka tidak saling menyalahkan dan saling bermusuhan. Begitu juga pada masa tabi’in juga tidak terjadi permusuhan akibat perbedaan dalam interpretasi teks-teks agama. Mereka saling menghormati dan menghargai. Imam Malik tidak pernah menghina Imam Syafi’i, Imam Hanafi tidak pernah menyalahkan Imam Hambali, begitu sebaliknya. Mereka menjunjung tinggi perbedaan dalam penafsiran teks-teks suci agama, dan saling memuji atas pendapat-pendapat mereka.

Akhirnya kesadaran untuk saling memahami, menghormati, dan menghargai pendapat dan hasil karya intelektual orang lain menjadi suatu keharusan, untuk selalu dipupuk terus dan ditumbuhsuburkan dalam kehidupan sosial keagamaan kita. Dengan saling menghargai, menghormati dan mengakui hasil pemikiran orang lain akan terwujud keberagamaan yang damai. Allahu a’lam bisawwab.

Kesimpulan

Sebagai masyarakat beragama (religious society), kita sering diguncang dengan banyaknya peristiwa yang sentimentil, rasial, collective violence dengan upaya-upaya mengail di “air keruh” sehingga tampaknya bermuatan keagamaan. Peristiwa yang sama sekali bukan bermuara agama, berubah menjadi peristiwa yang sarat dengan sentimen-sentimen keagamaan sehingga tidak jarang membuyarkan angan bahwa agama adalah pembawa kedamaian dan keselamatan bersama. Agama menjadi semacam ancaman yang bisa dengan tiba-tiba datang memberangus kehidupan bersama di muka bumi ini.60 Inilah yang oleh Sukidi, seorang stap Paramadina disebut sebagai fenomena paradoksal keberagamaan ummat, baik pada level elite politik maupun massa bawah (grass root).61 Suasana paradoks ini sering terjadi, di satu sisi agama mengajarkan nilai-nilai kebajikan yang luhur dan anti-kekerasan kepada umatnya, namun pada wajah lain agama sering mengiringi kehidupan manusia dengan wajah tidak bersahabat. Wajah agama (umat beragama) yang tidak bersahabat ini sering dialamatkan kepada kelompok keagamaan yang dicap fundamentalisme.

Munculnya fundamentalisme dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks dan pelik, yang tidak semata-mata murni bersifat keagamaan, namun berkaitan dengan kepentingan politik, ekonomi, sosial dan idiologis.

Semua agama mengajarkan nilai-nilai luhur untuk kemaslahatan hidup manusia. Manusia telah berperan untuk memperbarui peran agama di berbagai wilayah dunia menjadi sebagai sebuah idiologi tatanan publik sehingga dalam masyarakat idiologi-idiologi keagamaan dan politik saling berkelindan. Agama telah dipakai untuk mencapai kepentingan seseorang atau sekelompok tertentu yang telah mengakibatkan politisasi agama dalam wilayah-wilayah privat dan publik. Pada saat terjadinya idiologisasi dan politisasi agama, maka kekerasan atas nama agama tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian kesucian agama telah tereduksi oleh suatu interest tertentu yang akan berbahaya bagi kedamaian ummat manusia itu sendiri. Oleh karena itu, dalam hal ini agama atau Tuhan itu sendiri tidak bisa dipersalahkan. Umat beragamalah yang telah berpartisipasi menyemarakan kekerasan dengan menggunakan legitimasi agama dan Tuhan. Agama telah tercampur dengan ekspresi-ekspresi kekerasan dari aspirasi-aspirasi sosial, kebanggaan personal, dan gerakan-gerakan untuk perubahan politik.

Fundamentalisme sebagai reaksi terhadap segala bentuk kebobrokan moral dan spiritual manusia, sebagai perjuangan untuk pembebasan suatu bangsa, menghapuskan hegemoni dan penindasan, mendorong kita untuk memberikan toleransi kepadanya atau bahkan mendukungnya, selama tindakan-tindakan yang mereka lakukan tidak melampaui batas yang sudah digariskan Tuhan, meskipun cara yang paling damai dan maslahat harus menempati prioritas pertama sehingga sebisa mungkin terhindar dari upaya “melenyapkan kekerasan dengan kekerasan” atau “menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan”. Karena tidak ada dalam Islam yang menghalalkan kekerasan terhadap siapapun dan dalam bentuk apapun yang membahayakan perdamaian hidup manusia di muka bumi ini. Sudah sejak lama diketahui bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin yang seharusnya menjadi dasar bagi setiap kelompok Muslim untuk bersikap dan bertindak di manapun dan kapanpun.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1999).

Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001).

Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, (Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002).

Marx Juergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan : Kebangkitan Global kekerasan Agama, (Jakarta: Nizam Press & Anima Publishing, 2002).

Restoe Prawiranegoro I, Agama, Kekerasan dan Integrai Politik, Majalah Garda, (No. 96/th. III 17 Januari 2001).

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999).

Zainuddin Fananie, dkk., Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002).



[1] Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 35.

[2] Mengenai Islam agama semua nabi lihat Ibn Taimiyah, Iqidla al-Shirat al-Mustaqim Muhalifatu Ashab al-Jahim, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 451.

Jumat, 22 Mei 2009

SURUTNYA MORAL GENERASI PENERUS BANGSA

Salah satu contoh dari modern adalah kebebasan dan dinamis lebih bersifat individual, yakni memiliki sifat kekotaan dimana budaya tradisional mulai melemah dengan berkembangnya teknologi informasi.

Sadar atau tidak sadar ummat islam jauh dari ketinggalan zaman dari laju kemajuan peradaban manusia, ummat islam tidak akan dapat mengejar laju peradaban dunia selama para candikiawan muslim tidak bekerja keras untuk berusaha merubah mentalitas dan sikap hidupnya. Kemajuan dan persoalan-persoalan ummat islam masa kini tidak akan diatasi hanya dengan hasil-hasil pemikiran ulama masa lalu, bahkan perkembangan pemikiran rasional politis sebagai dampak perkembangan penerapan cara berfikir ilmiah dan teknologi yang cenderung kearah sekularis telah mengancam mentalitas dan moral para generasi bangsa.

Gejala-gejala pendangkalan pengetahuan agama akibat proses rasionalisasi kehidupan sebagai dampak negatif pembangunan telah nampak jelas. Makin berkembangnya gejala kumpul kebo, kekerasan dan kejahatan, merupakan indikasi nyata hilangnya nilai sakral dari kaidah-kaidah moral, dosa dan haram sudah dipandang sepi oleh para remaja.

Apa yang menyebabkan para generasi muda bangsa memiliki moral seperti itu ? menurut hemat penulis penyebabnya adalah : pertama; kurangnya kontrol dari orang tua terhadap perilaku dan pergaulan anak, kedua; pengaruh lingkungan yang sudah mengabaikan unsur norma dan agama, ketiga; pendidikan akhlak di sekolah hanya sebatas pemenuhan materi pelajaran tanpa melihat sentuhan kepada anak didik, keempat; para juru dahwa belum dapat dijadikan contoh bagi masyarakat, sebab lebih menginginkan materi dari pada tujuan dakwahnya, kelima; tingkah laku para pemimpin negara yang jauh dari sifat kejujuran sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Masih banyak lagi yang menjadi penyebab, namun lima hal inilah yang menurut hemat penulis sebagai sentral dari masalah moral ini.

Dalam keadaan dunia yang serba majemuk ini, dibutuhkan sarana untuk mendewasakan alam fikiran dan pemahaman keagamaan kita yakni dari proses individualisasi atau sikap mental setiap individu yang telah dewasa pengertian dan pemahaman agamanya sehingga dijadikan sebagai pegangan dalam menapaki kehidupan. Untuk menghindari atau mengurangi masalah ini sudah saatnya para orang tua, masyarakat, elit pemerintahan, dan para pemuka agama untuk bersikap konsen terhadap masalah ini, jika tidak maka marwah negara akan rusak di mata negara lain.

Rabu, 20 Mei 2009

IDIOLOGI DAN PARADIGMA PENDIDIKAN NASIONAL

A. Pendahuluan

Pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk menciptakan sosok manusia yang mandiri dan medeka. Pendidikan merupakan suatu langkah dalam mewariskan nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai penolong seta pabutan manuia dalam menapaki bahtera kehidupan, dan juga dapat dijadikan ebagai pijakan dalam meraih kebehailan serta mengangkat martabat kehidupan dirinya dan Negara secara umumnya.

Menjadi manusia tentunya tidak dapat terjadi dalam ruang yang kosong (tanpa ketelibatan lingkungan sekitar), akan tetapi untuk menjadi manusia ada dalam lingkungan sesame manusia atau bisa dikatakan lingkungan kemanusia. Ruang kemanusiaan itu adalah kebudayaan.[1] Maka dari itu dapat dikatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah suatu dua hal yang tidak dapat dipisahkan, keduanya dalam hal-hal tertentu merupakan sebuah proses pendidikan.

Dapat dikatakan bahwa tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Kebuadayaan itu tejadi seiring dengan perkembangan zaman, oleh sebab itu pendidikan juga suatu proses yang dinamis.

Kaitan antara pendidikan dan kebuadayaan atau dikhususkan lagi idiologi masyarakat atau bangsa merupakan pemikiran baru dalam paedagogik. Konsep pendidikan dalam wacana poskolonial, pertumbuhan nasionalisme, dan pendidikan nasionalisme menjadi perhatian bagi kita untuk diperhatikan, sebab wacana di atas erat kaitannya dalam pembentukan sisitem pendidikan nasional.

B. Tujuan Pendidikan

Sebelum kita beralih kepada masalah idiologi pendidikan maka terlebih dahulu kita akan membicarakan masalah tujuan dari pendidikan itu, sebab segala sesuatu hal tanpa diketahui asal tujuannya tentu kesemuanya itu adalah omong kosong belaka.

Untuk mendapatkan suatu makna pendidikan yang lebih jelas, ada baiknya kita melihat beberapa konsep mengenai pengertian pendidikan itu. Pendidikan adalah bimbingan secara sadar dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak-anak didik menuju terbentuknya manusia yang memiliki kepribadian yang utama dan ideal. Yang dimaksudkan dengan istilah “kepribadian yang utama dan ideal” adalah kepribadian yang memiliki kesadaran moral dan sikap mental secara teguh dan sungguh-sungguh memegang dan melaksanakan ajaran atau prinsip-prinsip nilai (filsafat) yang menjadi pandangan hidup secara individu, masyarakat maupun filsafat bangsa dan Negara.

Menurut pendapar John Dewey, pendidikan adalah sebagai proses pembantahan kemampuan dasar yang pundamental, yang menyangkut daya fakir (intelektua;) maupun daya rasa (emosi) manusia.[2] Berkenaan dengan hal tersebut Prof. DR. Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha untuk mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitar.[3]

Dilain pihak Sogarda Poerwakanwatja menguraikan pengertian pendidikan dalam arti luas sebagai semua perbuatan dan uaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkannya agar dapat memahami fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani. Disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa yang mana dengan pengaruhnya peningkatan kedewasaan si-anak yang selalu diartikan kemampuan untuk memikul tanggungjawab moril dari segala perbuatannya.

Proses pendidikan adalah proses pekembangan yang betujuan. Tujuan dari poses perkembangan itu secara alamiah adalah kedewasaan. Kematangan dari kepribadian manusia. Dengan demikian jelaslah bahwa perngertian pendidikan itu eat kaitannya dengan masalah yang dihadapi dalam kehidupan manusia.

Pendidikan diartikan sebagai suatu proses, dimana pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup sifat hakiki dan ciri-ciri kemanusiaannya,

Dengan kata lain proses pendidikan merupakan rangkaian dari usaha membimbing, mengarahkan potensi hidupnya yang berupa kemampuan dasar dan kehidupan pribadinya sebagai makhluk individu dan makhluk social serta dalam hubungannya dengan alam sekitanya dalam hidup dan kehidupan.

C. Idiologi Pendidikan

Berbicara masalah idologi pendidikan maka dalam hal ini idiologi merupakan sebuah sisitem yang dianut masyarakat untuk menata dirinya sendiri. Sementara itu secara terminology, idiologi memiliki formulasi yang beraneka ragam, yang dapat disimpulkan sebagai seperangkat aturan yang diyakini dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidup dan kehidupan. Seperangkat alat tersebut bisa dari hasil kebudayaan, agama atau kombinasi dari keduanya.[4]

Sehubungan dengan masalah pendidikan maka idiologi dapat dijadikan sebagai seperangkat model aturan yang diyakini dan dijadikan landasan bagi pendidikan dalam rangka mencapai suatu tujuan.

Idiologi pendidikan bergantung pada aliran pendidikan itu sendiri, dimana aliran pendidikan itu dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu, konservatif dan liberal. Dari masing-masing aliran tersebut memiliki tiga idiologi pendidikan, adapun idiologi pendidikan yang beralirkan konservatif adalah :

1) Idiologi Fundamentalisme.

Aliran ini pada dasarnya beranut anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau consensus social yang sudah mapan (yang biasanya diabsahkan sebagai akal sehat).

Dalam ungkapan polotisnya, konservatisme reaksioner kembali untuk membuat gagasan pada kebijaksanaan-kebijakanaan atau kebijakansanaan masa silam, baik yang benar-benar ada ataupun hanya dihayalkan. Aliran ini memiliki dua jenis yaitu, a) fundamentalisme pendidikan religius, yang memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap pandangan atas kenyataan yang cukup kaku serta harfiyah. b) fundamentalisme pendidikan sekuler, idiologi ini yang berciikan mengembangkan komitmen yang sama tidak luesnya disbanding dengan yang religius, terhadap cara pandang-dunia melalui “akal sehat” yang disepakati, yang umumnya menjadi pandangan orang pada umumnya “orang biasa”.

2) Idiologi Intelektual

Idiologi ini adalah idiologi yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis atau religius yang pada dasarnya otoritarian. Secara umum, konservatisme filosofis ini mengubah praktik-praktik politik yang ada (termasuk praktik-praktik pendidikan), demi menyesuaikannya secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniyah yang sudah mapan dan tidak bervariasi.

3) Idiologi Konservatisme

Idiologi ini pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup tua dan sudah mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasan perubahan social yang konstruktif.

Adapun idiologi-idiologi liberal antara lain :

1) Idiologi liberaloisme

Tujuan jangka panjang idiologi ini adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Dengan kata lain bahwa sekolah adalah lembaga untuk menjadikan anak siap menghadapi kehidupannya.

2) Idiologi liberasionisme

Idiologi ini beranggapan bahwa kita musti segera melakukan perubahan berlingkup besar dengan tatanan politik yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan individu dan mempromosikan pendidikan mencakup sebuah spectrum pandangan yang luas.

3) Idiologi anarkisme

Yaitu idiologi yang menekankan perlunya untuk meminimalkan dan atau mengapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perlaku personal, bahwa kita musti, sejauh mungkin yang kita lakukan mendeinstitusionalisasikan masyarakat membuat lembaga bebas lembaga. Sejalan dengan itu dikatakan bahwa pendekatan tebaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempecepat perombakan humanistic beskala besar mendesak dalam masyarakat, dengan caa menghapuskan sistem persekolahan sekalian.

D. Pancasila Sebagai Idiologi Pendidikan Nasional

Berbicara mengenai idiologi pendidikan nasional, sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari diskursus tentang idiologi Negara Indonesia, sebab idiologi Negara merupakan suatu idiologi yang menjadi pijakan segala al kebijakan dalam kehidupan bernegara.[5]

Kita sudah mengetahui bahwa bangsa Indonesia memakai idiologi pancasila, akibatnya semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah berpijak pada idiologi pancasila. Sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kebijakan mengenai ekonomi, politik, hokum, pendidikan dan sebagainya harus selaras dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam idiologi pancasila.

Dalam proses pendidikan idiologi pendidikan harus sejalan sesuai dengan hakikat pendidikan, yaitu tidak menghilangkan makna pendidikan sebagai proses pemberdayaan. Kita lihat selama ini idiologi pancasila dalam proses pendidikan kewarganegaraan, eperti dilembaga pendidikan atau sekolahan telah menyalai akikat proses pendidikan seperti ditanamkannya sistem pendidikan menghafal atau dijadikan mata pelajaran yang diwajibkan untuk diujikan.[6]

Idiologi pancasila sebagai idiologi terbuka memerlukan pembinaan, yang dilakukan antara lain penghayatan terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kedalam kehidupan yang nyata dari peserta didik yang melibatkan perkembangan rasio dan emosi peserta didik dan bukan karena hafalan atau paksaan.

Keidiologian pancasila dalam pendidikan tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Keadaan pancasila bahkan seperti “pingsan dalam kedudukan”, untuk tidak mengatakan mati. Keberadaannya hanya sebagai symbol yang tidak berpengaruh atau berhenti pada dataran konsep yang tak pernah ingin dicapai. Dalam segi praktis, penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai-nilai pancasila oleh orang yang seharusnya mengamalkan semakin menjadi-jadi. Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah kasus yang selalu menghiasi Kejaksaan Agung kita. Malah semakin tidak logis, jika ternyata Departemen Pendidikan Aadalah Departemen yang terkorup setela Departemen Agama.

Kegagalan program pengembangan idiologi pancasila di masa lalu, seperti dalam program P-4 gagal larena terdapat sebua gap antara pengetauan teradap pancasila dan perbuatan yang tidak sesuai dengan pengetahuan tersebut. Demikian juga halnya dengan pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuknya di lembaga-lembaga pendidikan (dalam hal ini sekolah) dari tingkat taman kanak-kanak sampai kepada perguruan tinggi ternyata tidak mengasilkan apa-apa bahkan secara ironis tela menambah pengetahuan peserta didik bagaimana menyelewengkan nilai-nilai dari idiologi pancasila tersebut.

Berkaitan dengan hal di atas maka idiologi pancasila dalam proses pendidikan perlu mengembangka program-program pemantapan dengan emisal kajian-kajian rasional dari pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bermasyarakat oleh semua lapisan masyarakat.

E. Paradigma Pendidikan : Antara Idealita dan Realita

Seperti yang kita ketahui bahwa paradigma itu merupakan suatu model penelitian atau juga bisa dikatakan sebagai suatu model berfikir yang dianut oleh sekelompok manusia. Paradigma baru pendidikan nasional merupakan suatu konspirasi komitmen kelompok, tentunya pertama-tama bagi para pakar pendidikan, di dalam usaha meletakkan dasar-dasar yang paling rasional untuk mengubah praksis pendidikan guna untuk mengembangkan masyarakat yang baru.[7] Dalam kajian ini akan diuraikan praksis pendidikan yang lahir sekarang dan yang seharusnya. Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan itu berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi pada decade dewasa ini yang lebih cenderung kepada mengalienasikan program pendidikan dari kebudayaan. Sudah saatnya bagi kita untuk memerlukan perubahan paradigma dari pendidikan nasional sebagai proses untuk menghadapi dunia moderenisasi dan globalisasi serta kembali untuk menatap kehidupan masyarakat Indonesia. Cira-cita era reformasi tidak lain ialah untuk membangun suatu kesatuan masyarakat madani Indonesia. Maka dari itu paradigma pendidikan nasional hendaknya diarahkan pada terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.

Dalam hal ini di bawah kita akan mencoba untuk melihat beberapa strategi dalam pembangunan pendidikan nasional dalam rangka membangun masyarakat Indonesia yang madani :

1) Pendidikan dari, oleh, dan bersama-sama masyarakat

Pendidikan dari masyarakat artinya bahwa pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan dari masyarakat itu sendiri.[8] Jadi pendidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan atau proyek apa lagi perintah dari penguasa.[9] Seringkali serat dengan kepentingan tertentu. Pendidikan yang diharapkan adalah yang tumbuh dari masyarakat dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri.

Pendidikan oleh masyarakat dimaknai bahwa masyarakat bukan dijadikan sebagai lahan untuk pengadaan proyek dari pendidikan, demi berjalannya keinginan dari Negara maupun dari kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan, akan tetapi masyarakat lebih dijadikan sebagai subyek dalam pembangunan pendidikan nasional, dimana dengan dijadikannya masyarakat sebagai subyek dari proses pembangunan pendidikan tersebur masyarakat mempunyai peranan di setiap program yang dicanangkan dalam pembangunan pendidikan tersebut. Dengan demikian maka masyarakat tidak dipandang sebagai penerima belas kasihan dari pemerintah, akan tetapi suatu sistem yang mencoba untuk meletakkan kepercayaan seutuhnya kepada masyarakat dalam bertanggungjawab terhadap pendidikan generasinya.

Pada dasarnya pembangunan mengandung pengertian perubahan yang menuju perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan masyarakat. Dari situ dapat dilihat bahwa pembangunan adalah suatu proses yang sifatnya dinamis, sebagaimana kita ketahui pula bahwa proses pembangunan itu tidak hanya menghasilkan hal-hal yang mendekatkan manusia dan masyarakat menuju apa yang menjadi tujuan pembangunannya, tetapi juga biasanya dibarengi oleh hal-hal yang tidak dibarengi oleh hal-hal yang tidak direncanakan atau diinginkan. Proses pembangunan disamping berhasil menyelesaikan berbagai persoalan. Biasanya juga menghasilkan beberapa persoalan yang lain yang mungkin lebih banyak dan lebik ruwet sifatnya yang menuntut penyelesaiannya pula.

Hal itu disebabkan antara lain oleh keinginan manusia dan masyarakat untuk hidup semakinlebih baik dari hari ke hari. Dari situ dapat dilihat bahwa proses pembangunan sebenarnya bisa diumpamakan sebagai sebuah jalan yang tak mempunyai ujungnya, selama manusia dan masyarakat itu masih mempunyai hasrat dan ambisi untuk memperbaiki kehidupannya. Sungguhpun begitu, itu tidaklah berarti pembangunan tidak memiliki tujuan. Tujuannya jelas sudah ada, yaitu kualitas kehidupan manusia dan masyarakat yang semakin baik dalam segala aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial budaya, agama, politik dan lain sebagainya. Jadi, pembangunan dapat diartikan sebagai upaya manusia atau masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya secara keseluruhan.[10]

Proses pembangunan pada saat ini dalam prakteknya, lembaga-lembaga pendidikan kita saat ini, pendidikan lebih banyak mematikan otonomi masyarakat. Jenis program yang ditentukan oleh pemerintah tanpa alternatif dapat mematikan berbagai prakarsa dan eksperimen, termasuk juga di dalamnya mematikan para pendidik. Dampak dari hal tersebut out-put sistem pendidikan nasional kita berupa manusia-manusia robot tanpa inisiatif, dan tentu saja tidak dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di era globalisasi ini. Pendidikan oleh masyarakat bukan berarti melepaskan tanggungjawab pemerintah. Tugas pemerintah di dalam pendidikan nasional ialah menjaga dan mengarahkan agar supaya tanggungjawab masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya.[11]

Makna dari pendidikan bersama dengan masyarakat diartikan bahwa dalam pembangunan pendidikan nasional masyarakat dilibatkan secara langsung di dalam program-program pemerintah yang telah disetujui oleh masyarakat. Sebab hadirnya program pemerintah tentunya dari hasil peninjauan secara nyata terhadap kebutuhan yang diinginkan masyarakat[12]

Sistem pendidikan pada masa orde baru yang sentralistik dan birokratis, lebih menjadikan masyarakat sebagai objek penerima dari apa yang telah ditentukan oleh pemerintah, masyarakat hanya legowo dalam menerima hasil kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah dalam bentuk program. Semua kegiatan pendidikan diproyekkan sehingga masyarakat merasa terasingkan. Masyarakat tidak dapat merasa memiliki sehingga sering kali terjadi kegiatan tersebut berhenti seumur dengan proyek yang dikerjakan.[13]

2) Pendidikan yang disandarkan pada kebudayaan nasional yang bertumpu pada kebudayaan local

Pendidikan yang didasarkan pada kebudayaan menuntut pranata-pranata sosial untuk pendidikan seperti keluarga, sekolah haruslah merupakan pusat-pusat penggalian dan pengambangan kebudayaan lokal dan nasional. Kita ketahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak suku dan budayanya sehingga bangsa ini adalah bangsa yang bhineka. Setiap suku yang ada memiliki ciri khas tersendiri dari kebudayaan yang lahir dalam sistem kebersosialan yang ada pada suku tersebut, sehingga dengan baragamnya corak kebudayaan yang ada di nusantara ini menjadikan merupakan silang budaya antar bangsa telah menampung unsure terbaik dari budaya luar dan menghasilkan kebhinekaan kebudayaan.

Budaya local, budaya Hindu-Budha, kebudayaan Islam, kebudayaan Cina, semuanya telah mempengaruhi atau setidak-tidaknya bersinggungan dengan kebudayaan asli nasional. Unsure-unsur budaya lokal tersebut kemudian dikaji ulang dan dikembangkan sehingga dapat memberikan sumbangan bagi terwujudnya kebudayaan nasional.[14]

Dalam kenyataannya bahwa lembaga-lembaga pendidikan kita pada saat ini tidak lagi berfungsi sebagai motor untuk pusat pengembangan kebudayaan, jika ada yang diprioritaskan hanya pada aspek intelektual dari kebudayaan sedangkan aspek yang lainnya diabaikan. Demikian juga sarana-sarana pendidikan kita dewasa ini belum mendukung untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan pengembangan kebudayaan kita.

3) Proses pendidikan mencakup proses Hominisasi dan proses Humanisasi

Proses Hominisasi maksudnya pengembangan manusia sebagai makhluk hidup. Makhluk manusia harus dibesarkan agar supaya dia dapat berdiri sendiri dan memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kehidupan biologis yang membutuhkan makanan bergizi demi keberlangsungan hidupnya, kebutuhan seks, kebutuhan ekonomis, termasuk di dalamnya mempunyai lapangan pekerjaan sendiri.

Proses Humanisasi berarti manusia itu bukan berarti hanya sekedar dapat untuk mempertahankan hidupnya, tetapi manusia dituntut untuk dapat bertanggungjawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai moral. Tanpa adanya tanggungjawab tidak akan mungkin dapat tercapai suatu masyarakat yang aman dan tentram dimana kepribadian dapat berkembang.

Manusia dapat dianggap sebagai makhluk yang mempunyai potensi yang tidak terbatas, dalam arti bahwa manusia tidak mengenal dan mungkin tidak bisa mengenal semua potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut. Maka dari itu proses Humanisasi tersebut merupakan suatu proses yang terbuka dimana manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan serta penerapannya, penghayatan seni gerak, seni musik, seni patung dan sebagainya.[15]

4) Pendidikan Demokratis

Pendidikan demokrati yang merupakan tuntutan dari terbentuknya masyarakat madani Indonesia mengandung berbagai unsur :

a. Manusia memerlukan kebebasan politik. Artinya manusia memerlukan pemerintah yang memihak kepada mereka. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk mempunyai rasa keadilan dan toleransi demi tercapainya sistem pemerintahan dari dan untuk masyarakat. Jika tidak demikian adanya maka hak-hak politik rakyat tidak dihargai

b. Kebebasan intelektual. Kebebasan intelektual diperlukan karena suatu masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang menghargai akan kemampuan intelektualnya. Baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kesejahteraan masyarakat. Kebebasan intelektual merupakan syarat utama di dalam kemampuannya untuk memformulasikan sistem yang ingin dicapai demi terwujudnya kepentingan bersama.

c. Kemampuan untuk bersaing di dalam perwujudan diri sendiri. Ini menunjukkan bahwa setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Artinya setiap peserta didik tanpa didiskriminasi dengan pertimbangan-pertimbangan sosial, ekonomi, gender, asal usul dan sebagainya, diberikan kesempatan yang sama untuk mewujudkan dirinya sendiri dan mengembangkan potensinya untuk melaksanakan sesuatu yang terbaik

d. Pendidikan yang mengembangkan kepatuhan moral kepada kepentingan bersama dan bukan kepada kepentingan perorangan atau kelompok tertentu. Durkhem memberikan cakupan bahwa moralitas meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku[16] dalam bukunya Durkheim menyebutkan ada tiga unsur moralitas yaitu semangat disiplin, ikatan pada kelompok-kelompok sosial, dan terakhir otonomi penentuan nasip sendiri.[17]

e. Pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda. Proses pendidikan kita yang otoriter, baik di dalam keluarga, terlebih di dalam pendidikan formal, tidak memberikan peluang pada pengambilan alternative yang lain. Proses belajar dan mengajar yang monolog, sistem ujian yang tersentralisasi, menutup pintu bagi eksperimen. Dan menghasilkan manusia-manusia yang hanya dapat menerima hasil dari kebijakan yang ada, padahal sebenarnya pengakuan terhadap hak untuk berbeda adalah respek terhadap kepribadian seseorang.

F. Kesimpulan

Dari apa yang sudah di paparkan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : bahwa setiap kebijakan yang ada di Indonesia termasuk kebijakan dalam pembangunan pendidikan bertumpu pada azas idiologi Negara yaitu pancasila yang juga sebagai idiologi Negara.

Idiologi pancasila dalam kaitannya dengan pendidikan akan percuma saja jika idiologi hanya sebatas symbol belaka, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak pernah digubris. Jika kita menelaah bahwa idiologi pancasila ketika kita pertemukan dengan pendidikan maka bukan hanya sekedar memiliki nilai rasional belaka melainkan ada terkandung nilai emosional di dalamnya. Yang dapat mengembangkan inteligensi spiritual para peserta didik.

Berkenaan dengan paradigma pendidikan yang dijalankan selama ini dapat dilihat dengan empat indicator sistem pendidikan nasional :

1. Popularisasi pendidikan. Dimana peningkatan pendidikan dijadikan sebagai upaya untuk memutuskan mata rantai kemiskinan tidak berjalan dikarenakan peningkatan kuantitas pendidikan tidak sejalan dengan peningkatan produktifiras.

2. Sistimatis pendidikan. Diseragamkannya sistem pendidikan bertujuan untuk menciptakan kesatuan bangsa, namun apa yang diharapkan jauh dari tujuannya. Sistem yang diterapkan bukan menjadikan kesatuan bangsa melainkan timbul suatu sistem yang kaku, sehingga menutup pintu bagi inovasi dan eksperimentasi.

3. Proliferasi pendidikan. Praksis pendidikan di sekolah maupun di luar sekolah, telah menimbulkan multifikasi jenis dan sumber pendidikan yang mengabaikan pengaruh informal dalam pembentukan watak peserta didik.

4. Politisasi pendidikan. Pendidikan adalah alat untuk mempertahankan idiologi Negara, untuk mempertahankan kepentingan pemerintah yang berkuasa, sehingga tidak mengembangkan berfikir kritis yang menjadikan tujuan pendidikan yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M, “Filsafat Pendidikan Islam”, Bina Aksara, Jakarta : 1987.

Alfian, “Tranformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional”, UI Press, Jakarta : 1986.

Al-Syaibani, O.M.A. “Filsafat Pendidikan Islam” Alih Bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta :1979.

Ali Muhdi Amnur, “ Konfigurasi Politik Pendidikan Naional”, Pustaka Fahima, Yogyakarta : 2007.

Emile Durkheim, “Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan APlikasi”, terj., Erlangga, Jakarta : 1990.

H.A.R. Tilaar, “Kekuasaan dan Pendidikan” Magelang : Indonesiatera, 2003.

___________“Pendidikan kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia”, Remaja Rosdakarya, Jakarta : 2000.

Kuntowijoyo, “Paradigma Islam”, Mizan, Bandung : 1998.

Muhammad AR, “Pendidikan di Alaf Baru”, prismasophie, Yogyakarta : 2003.

Williem F. O’neil, “Idiologi-Idiologi Pendidikan”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 2202.



[1] H.A.R. Tilaar, “Kekuasaan dan Pendidikan” Magelang : Indonesiatera, 2003. dalam Intruksi, hlm, xxiii

[2] Arifin, H.M, “Filsafat Pendidikan Islam”, Bina Aksara, Jakarta : 1987, hlm..15

[3] Al-Syaibani, O.M.A. “Filsafat Pendidikan Islam” Alih Bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta :1979, hlm…14

[4] H.A.R. Tilaar, “Kekuasaan dan Pendidikan”…hlm. 117

[5] Ali Muhdi Amnur, “ Konfigurasi Politik Pendidikan Naional”, Pustaka Fahima, Yogyakarta : 2007, hlm..21

[6] H.A.. Tilaar, “Kekuasaan Pendidikan”…hlm. 124

[7] H.A.R. Tilaar, “Paradigma Pendidikan Nasional”, Rineka Cipta, Jakarta : 2000, hlm…63

[8] H.A.R. Tilaar, “Pendidikan kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia”, Remaja Rosdakarya, Jakarta : 2000, hlm…169

[9] Muhammad AR, “Pendidikan di Alaf Baru”, prismasophie, Yogyakarta : 2003, hlm…15

[10] Alfian, “Tranformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional”, UI Press, Jakarta : 1986, hlm.131

[11] H.A.R. Tilaar, “Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia”…hlm. 169

[12] Ali Muhdi Amnur, “Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional”…hlm. 25

[13] Kuntowijoyo, “Paradigma Islam”, Mizan, Bandung : 1998, hlm. 47

[14] Ali Muhdi Amnur, “Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional”…hlm. 26

[15] Ali Muhdi Amnur, “Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional”…hlm. 28

[16] Emile Durkheim, “Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan APlikasi”, terj., Erlangga, Jakarta : 1990, hlm. x

[17] Emile Durkheim, “Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan APlikasi”…hlm, 13