Selasa, 26 Mei 2009

FUNDAMENTALISME ISLAM

Pendahuluan

Komitmen anti-kekerasan merupakan tujuan luhur manusia. Siapa yang ingin ada pertumpahan darah, pembantaian wanita, dan anak-anak yang tak berdosa hidup dalam ancaman?[1] Tujuan luhur manusia itu sejajar dengan ajaran semua agama juga memiliki tujuan yang sama: kedamaian dan anti-kekerasan. Semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.

Islam, dilihat dari segi namanya saja merupakan agama yang unik, karena ia berarti “keselamatan”, “kedamaian”, atau “penyerahan diri secara total kepada Tuhan.” Inilah sesungguhnya makna firman Allah, Inna al-din ‘ind Allah al-Islam , (Q.s. Ali Imran/3:19) “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah ialah Islam”. Bila Islam diterjemahkan “perdamaian”, maka terjemahan ayat tersebut menjadi “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama perdamaian.” Dengan demikian, seorang Muslim adalah orang yang menganut agama perdamaian kepada seluruh umat manusia. Para nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw. menganut agama Islam[2] atau agama perdamaian itu. Pernyataan Nabi Ibrahim misalnya “La syarika lahu wabi dzalika umirtu wa ana awwalul muslimin “ (Tidak ada sekutu bagi-Nya dan demikian itu diperintahkan kepadaku dan aku adalah golongan orang-orang pertama yang menganut agama perdamaian”) (Q.s. Al An’am/6: 163).

Dalam kajian keislaman tidak pernah dikenal istilah fundamentalis, hal ini di perkenalkan oleh kalangan media-media dengan tujuan suatu kultus pengnggolongan kepada kaum islam yang radikal, anarkis, dan tercermin suka dengan tindakan kekerasan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka penulis ingin memperlihatkan apa dan bagaimana sebenarnya idiologi yang dianut oleh kalangan yang sering disebut sebagai kaum fundamentalis ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin…

Pembahasan

Fundamentalisme secara etimologi berasa dari kata fundamen yang berarti dasar. Secara terminology fundamentalisme adalah aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (tektual). Mahmud Al-Alim mengatakan pemikiran fundamentalisme sudah ketinggalan jaman karena jaman selalu berubah, berbagai problematika semakin komplek. Bassam Tibi mengatakan bahwa fundamentalisme merupakan sebuah gejala idiologi yang muncul sebagai respon atas problem-problem globalisasi, fragmentasi dan benturan peradaban. (Abdurrahman Kasdi, 2002: 19) tetapi dalam perkembangan berikutnya fundamentalisme mengalami distorsi makna, bahkan sering dikonotasikan dengan istilah yang negative.

Beberapa karakter fundamentalisme adalah sebagai berikut: Pertama, fundamentalisme agama mempunyai agenda politisasi agama yang agresif dan dilakukan demi mencapai tujuan-tujuannya. Kedua, fundamentalisme baik Islam atau yang lain merupakan bentuk superficial dari terorisme atau ekstrimisme (Bassam Tibi, 2000; x ). Dari karakter di atas secara tidak langsung melabeli para fundamnentalis sebagai gerakan penteror dan penganggu orang di luar paham mereka.

Kaum fundamentalis memiliki platform tersendiri dan biasanya berbeda dari platform gerakan Islam lainnya. Menurut Abdurrahman Kasdi platform gerakan fundamentalisme adalah sebagai berikut: pertama, mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadapap teks-teks suci agama. Menolak pemahaman kontekstual atas teks agama, karena pemahaman itu mereduksi kesucian agama. Kedua, menolak pluralisme dan relativisme. Bagi mereka pluralisme merupakan distorsi pemahaman terhadap agama. Ketiga, memonopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalisme cenderung menganggap diri mereka sebagai pemegang otoritas penafsiran agama yang paling absah dan paling benar, sehingga cenderung menganggap sesat kepada kelompok lain yang tidak sealiran. Keempat, gerakan fundamentalisme mempunyai korelasi dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme dan militanisme. Fundamentalisme selalu mengambil bentuk perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, ( Abdurrahman Kasdi, 2002: 21).

Ketertutupan kaum fundamentalis dengan dunia luar membuat mereka merasa tidak butuh lagi dengan orang di luar kelompoknya. Mereka merasa paling benar dan paling berhak menginterpretasikan teks-teks suci agama. Sehingga apapun baiknya pendapat dan interpretasi di laur kelompoknya tidak akan mereka terima. Keadaan seperti ini menjadikan kelompok fundamentalis berkecenderungan berfikir parsial dan berpotensi besar menghasilkan konflik-konflik destruktif berkepanjangan dalam kehidupan sosial keagamaan. Malik fajar mengatakan fundamentalisme agama merupakan keberagamaan parsial yang berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan destruktif dalam kehidupan sosial.(Malik fajar,2000: ix).

Nurcholish Madjid [Cak Nur] mengatakan bahwa gejala destruktif itu tidak sebagai fundamentalisme keagamaan, tetapi hanya sebuah gejala sosial politik biasa. (Nucholish Madjid, 2004: 270). Dengan demikian sebenarnya fundamentalisme muncul akibat adanya kepentingan politik tertentu yang akhirnya direduksikan ke dalam ajaran agama, yang pada akhirnya menumbuhkan sikap eksklusifisme, ekstrimisme dan radikalisme. Lebih lanjut Cak Nur mengatakan bahwa perkataan fundamentalisme kurang tepat untuk melabelkannya pada gerakan keagamaan dalam Islam, sebab perkataan fundamentalisme muncul di Amerika pada kaum Kristen sekitar tahun 1920-an dengan ciri anti intelektualisme dan anti ilmu serta menolak keras teori ilmiah mutakhir saat itu.

Fundamentalisme di dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad kesembilan belas Masehi, dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu “Gerakan Millenium”. Gerakan ini mengimani kembalinya Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia.

Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan “mimpi Yohana” (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal.

Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20, terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminarnya, lembaga-lembaganya, serta melalui tulisan-tulisan para pendetanya yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk sekaligus. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Oleh karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya, seperti aborsi, pembatasan kelahiran, penyimpangan seksual, dan kampanye-kampanye untuk membela “hak-hak” orang-orang yang berperilaku seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok, dansa-dansi, hingga sosialisme. Itu semua adalah “fundamentalisme” dalam terminologi Barat dan dalam visi Kristen.

Lebih lanjut, Muhammad Said Al-Asyimawi membedakan antara activist political fundamentalis dan rational spiritualist fundamental. Istilah pertama merujuk kepada kelompok muslim memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik. Sedangkan istilah berikutnya lebih merujuk kepada kelompok muslim yang menginginkan kembali kepada ajaran Al-Quran dan tradisi yang dipraktekkan oleh generasi pertama (salaf) (Syafiq Hasyim,2002: 11). Sosiolog muslim Ilyas ba-Yunus dalam artikelnya menjelaskan pemakaian diskursus fundamentalisme untuk pertama kali muncul dalam sebuah konferensi mengenai Bible yang diselenggarakan di Nigara Falls New York.

Beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa istilah fundamentalisme yang dilabelkan kepada gerakan islam kurang tepat, apabila merujuk awal munculnya istilah tersebut. Terlepas dari berbagai kontroversi asal muasal istilah fundamentalisme yang jelas para intelektual muslim cenderung memakai istilah fundamentalisme bagi kelompok Islam yang radikal, eksklusi, rigid, dan tekstual dalam menafsirkan teks-teks suci agama. Bahkan intelektual Barat pun lebih senang menggunakan istilah fundamentalisme untuk kelompok Islam yang di anggap radikal dan ekstrim.

Fundamentalisme berkecenderungan menolak pluralitas, penolakan ini sebenarnya akibat tidak adanya kesamaan dalam intrepretasi tesk-teks suci agama, sehingga berbagai ragam pola penafsiran yang diluar pemahaman mereka adalah tidak benar. Mereka tidak menyadari bahwa Allah menciptakan tidak satu macam tetapi beragam corak, bentuk, warna dan pola pikir. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dari berbagai suku bangsa supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulai di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu, (Qs. Al-Hujarat: 13). Nabi Saw mengakui bahwa perbedaan di antara umatnya adalah rahmat yang patut disyukuri, bukan sebaiknya menjadi sumber pertengkaran dan kekacauan. Lebih menyedihkan lagi adalah sikap merasa lebih benar dan yang lain salah, padahal yang mempunyai kebenaran mutlak hanyalah Allah, “Segala kebenaran adalah milik Allah,”(QS. Al-Imran: 6).

Pengingkaran atas pluralitas merupakan penolakan akan otoritas Tuhan yang dengan sengaja menciptakan makhluknya berbeda-beda agar mereka saling mengenal dan membutuhkan satu sama lain. Pluralitas adalah sebuah kenyataan hidup yang tidak dapat diingkari. Kenyataan ini hendaknya menjadi renungan bagi mereka yang mengklaim diri mereka yang paling benar dan paling berhak untuk menafsirkan teks-teks suci agama.

Semua manusia mempunyai hak untuk mengembangkan intelektual mereka, hasil pemikiran majemuk hendaknya menjadi suatu kekayaan membangun dan saling melengkapi, karena tidak semua kita sempurna, adanya saling menghargai pendapat dan hasil karya orang lain akan membawa suasana kehidupan sosial keagamaan yang harmonis dan penuh kedamaian, inilah sebenarnya salah satu bentuk dari ketakwaan, yaitu menghargai hasil karya orang lain dan menganggap semua manusia sama di sisi Allah kecuali takwanya, orang yang bertakwa selalu menghargai orang lain.

Penghargaan akan perbedaan juga dicontohkan oleh para sahabat Nabi saw, meskipun ada perbedaan dalam interpretasi ajaran Nabi Saw mereka tidak saling menyalahkan dan saling bermusuhan. Begitu juga pada masa tabi’in juga tidak terjadi permusuhan akibat perbedaan dalam interpretasi teks-teks agama. Mereka saling menghormati dan menghargai. Imam Malik tidak pernah menghina Imam Syafi’i, Imam Hanafi tidak pernah menyalahkan Imam Hambali, begitu sebaliknya. Mereka menjunjung tinggi perbedaan dalam penafsiran teks-teks suci agama, dan saling memuji atas pendapat-pendapat mereka.

Akhirnya kesadaran untuk saling memahami, menghormati, dan menghargai pendapat dan hasil karya intelektual orang lain menjadi suatu keharusan, untuk selalu dipupuk terus dan ditumbuhsuburkan dalam kehidupan sosial keagamaan kita. Dengan saling menghargai, menghormati dan mengakui hasil pemikiran orang lain akan terwujud keberagamaan yang damai. Allahu a’lam bisawwab.

Kesimpulan

Sebagai masyarakat beragama (religious society), kita sering diguncang dengan banyaknya peristiwa yang sentimentil, rasial, collective violence dengan upaya-upaya mengail di “air keruh” sehingga tampaknya bermuatan keagamaan. Peristiwa yang sama sekali bukan bermuara agama, berubah menjadi peristiwa yang sarat dengan sentimen-sentimen keagamaan sehingga tidak jarang membuyarkan angan bahwa agama adalah pembawa kedamaian dan keselamatan bersama. Agama menjadi semacam ancaman yang bisa dengan tiba-tiba datang memberangus kehidupan bersama di muka bumi ini.60 Inilah yang oleh Sukidi, seorang stap Paramadina disebut sebagai fenomena paradoksal keberagamaan ummat, baik pada level elite politik maupun massa bawah (grass root).61 Suasana paradoks ini sering terjadi, di satu sisi agama mengajarkan nilai-nilai kebajikan yang luhur dan anti-kekerasan kepada umatnya, namun pada wajah lain agama sering mengiringi kehidupan manusia dengan wajah tidak bersahabat. Wajah agama (umat beragama) yang tidak bersahabat ini sering dialamatkan kepada kelompok keagamaan yang dicap fundamentalisme.

Munculnya fundamentalisme dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks dan pelik, yang tidak semata-mata murni bersifat keagamaan, namun berkaitan dengan kepentingan politik, ekonomi, sosial dan idiologis.

Semua agama mengajarkan nilai-nilai luhur untuk kemaslahatan hidup manusia. Manusia telah berperan untuk memperbarui peran agama di berbagai wilayah dunia menjadi sebagai sebuah idiologi tatanan publik sehingga dalam masyarakat idiologi-idiologi keagamaan dan politik saling berkelindan. Agama telah dipakai untuk mencapai kepentingan seseorang atau sekelompok tertentu yang telah mengakibatkan politisasi agama dalam wilayah-wilayah privat dan publik. Pada saat terjadinya idiologisasi dan politisasi agama, maka kekerasan atas nama agama tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian kesucian agama telah tereduksi oleh suatu interest tertentu yang akan berbahaya bagi kedamaian ummat manusia itu sendiri. Oleh karena itu, dalam hal ini agama atau Tuhan itu sendiri tidak bisa dipersalahkan. Umat beragamalah yang telah berpartisipasi menyemarakan kekerasan dengan menggunakan legitimasi agama dan Tuhan. Agama telah tercampur dengan ekspresi-ekspresi kekerasan dari aspirasi-aspirasi sosial, kebanggaan personal, dan gerakan-gerakan untuk perubahan politik.

Fundamentalisme sebagai reaksi terhadap segala bentuk kebobrokan moral dan spiritual manusia, sebagai perjuangan untuk pembebasan suatu bangsa, menghapuskan hegemoni dan penindasan, mendorong kita untuk memberikan toleransi kepadanya atau bahkan mendukungnya, selama tindakan-tindakan yang mereka lakukan tidak melampaui batas yang sudah digariskan Tuhan, meskipun cara yang paling damai dan maslahat harus menempati prioritas pertama sehingga sebisa mungkin terhindar dari upaya “melenyapkan kekerasan dengan kekerasan” atau “menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan”. Karena tidak ada dalam Islam yang menghalalkan kekerasan terhadap siapapun dan dalam bentuk apapun yang membahayakan perdamaian hidup manusia di muka bumi ini. Sudah sejak lama diketahui bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin yang seharusnya menjadi dasar bagi setiap kelompok Muslim untuk bersikap dan bertindak di manapun dan kapanpun.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1999).

Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001).

Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama, (Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002).

Marx Juergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan : Kebangkitan Global kekerasan Agama, (Jakarta: Nizam Press & Anima Publishing, 2002).

Restoe Prawiranegoro I, Agama, Kekerasan dan Integrai Politik, Majalah Garda, (No. 96/th. III 17 Januari 2001).

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999).

Zainuddin Fananie, dkk., Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002).



[1] Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan, dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 35.

[2] Mengenai Islam agama semua nabi lihat Ibn Taimiyah, Iqidla al-Shirat al-Mustaqim Muhalifatu Ashab al-Jahim, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 451.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar