Rabu, 20 Mei 2009

IDIOLOGI DAN PARADIGMA PENDIDIKAN NASIONAL

A. Pendahuluan

Pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk menciptakan sosok manusia yang mandiri dan medeka. Pendidikan merupakan suatu langkah dalam mewariskan nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai penolong seta pabutan manuia dalam menapaki bahtera kehidupan, dan juga dapat dijadikan ebagai pijakan dalam meraih kebehailan serta mengangkat martabat kehidupan dirinya dan Negara secara umumnya.

Menjadi manusia tentunya tidak dapat terjadi dalam ruang yang kosong (tanpa ketelibatan lingkungan sekitar), akan tetapi untuk menjadi manusia ada dalam lingkungan sesame manusia atau bisa dikatakan lingkungan kemanusia. Ruang kemanusiaan itu adalah kebudayaan.[1] Maka dari itu dapat dikatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah suatu dua hal yang tidak dapat dipisahkan, keduanya dalam hal-hal tertentu merupakan sebuah proses pendidikan.

Dapat dikatakan bahwa tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Kebuadayaan itu tejadi seiring dengan perkembangan zaman, oleh sebab itu pendidikan juga suatu proses yang dinamis.

Kaitan antara pendidikan dan kebuadayaan atau dikhususkan lagi idiologi masyarakat atau bangsa merupakan pemikiran baru dalam paedagogik. Konsep pendidikan dalam wacana poskolonial, pertumbuhan nasionalisme, dan pendidikan nasionalisme menjadi perhatian bagi kita untuk diperhatikan, sebab wacana di atas erat kaitannya dalam pembentukan sisitem pendidikan nasional.

B. Tujuan Pendidikan

Sebelum kita beralih kepada masalah idiologi pendidikan maka terlebih dahulu kita akan membicarakan masalah tujuan dari pendidikan itu, sebab segala sesuatu hal tanpa diketahui asal tujuannya tentu kesemuanya itu adalah omong kosong belaka.

Untuk mendapatkan suatu makna pendidikan yang lebih jelas, ada baiknya kita melihat beberapa konsep mengenai pengertian pendidikan itu. Pendidikan adalah bimbingan secara sadar dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak-anak didik menuju terbentuknya manusia yang memiliki kepribadian yang utama dan ideal. Yang dimaksudkan dengan istilah “kepribadian yang utama dan ideal” adalah kepribadian yang memiliki kesadaran moral dan sikap mental secara teguh dan sungguh-sungguh memegang dan melaksanakan ajaran atau prinsip-prinsip nilai (filsafat) yang menjadi pandangan hidup secara individu, masyarakat maupun filsafat bangsa dan Negara.

Menurut pendapar John Dewey, pendidikan adalah sebagai proses pembantahan kemampuan dasar yang pundamental, yang menyangkut daya fakir (intelektua;) maupun daya rasa (emosi) manusia.[2] Berkenaan dengan hal tersebut Prof. DR. Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha untuk mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitar.[3]

Dilain pihak Sogarda Poerwakanwatja menguraikan pengertian pendidikan dalam arti luas sebagai semua perbuatan dan uaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkannya agar dapat memahami fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani. Disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa yang mana dengan pengaruhnya peningkatan kedewasaan si-anak yang selalu diartikan kemampuan untuk memikul tanggungjawab moril dari segala perbuatannya.

Proses pendidikan adalah proses pekembangan yang betujuan. Tujuan dari poses perkembangan itu secara alamiah adalah kedewasaan. Kematangan dari kepribadian manusia. Dengan demikian jelaslah bahwa perngertian pendidikan itu eat kaitannya dengan masalah yang dihadapi dalam kehidupan manusia.

Pendidikan diartikan sebagai suatu proses, dimana pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup sifat hakiki dan ciri-ciri kemanusiaannya,

Dengan kata lain proses pendidikan merupakan rangkaian dari usaha membimbing, mengarahkan potensi hidupnya yang berupa kemampuan dasar dan kehidupan pribadinya sebagai makhluk individu dan makhluk social serta dalam hubungannya dengan alam sekitanya dalam hidup dan kehidupan.

C. Idiologi Pendidikan

Berbicara masalah idologi pendidikan maka dalam hal ini idiologi merupakan sebuah sisitem yang dianut masyarakat untuk menata dirinya sendiri. Sementara itu secara terminology, idiologi memiliki formulasi yang beraneka ragam, yang dapat disimpulkan sebagai seperangkat aturan yang diyakini dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidup dan kehidupan. Seperangkat alat tersebut bisa dari hasil kebudayaan, agama atau kombinasi dari keduanya.[4]

Sehubungan dengan masalah pendidikan maka idiologi dapat dijadikan sebagai seperangkat model aturan yang diyakini dan dijadikan landasan bagi pendidikan dalam rangka mencapai suatu tujuan.

Idiologi pendidikan bergantung pada aliran pendidikan itu sendiri, dimana aliran pendidikan itu dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu, konservatif dan liberal. Dari masing-masing aliran tersebut memiliki tiga idiologi pendidikan, adapun idiologi pendidikan yang beralirkan konservatif adalah :

1) Idiologi Fundamentalisme.

Aliran ini pada dasarnya beranut anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau consensus social yang sudah mapan (yang biasanya diabsahkan sebagai akal sehat).

Dalam ungkapan polotisnya, konservatisme reaksioner kembali untuk membuat gagasan pada kebijaksanaan-kebijakanaan atau kebijakansanaan masa silam, baik yang benar-benar ada ataupun hanya dihayalkan. Aliran ini memiliki dua jenis yaitu, a) fundamentalisme pendidikan religius, yang memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap pandangan atas kenyataan yang cukup kaku serta harfiyah. b) fundamentalisme pendidikan sekuler, idiologi ini yang berciikan mengembangkan komitmen yang sama tidak luesnya disbanding dengan yang religius, terhadap cara pandang-dunia melalui “akal sehat” yang disepakati, yang umumnya menjadi pandangan orang pada umumnya “orang biasa”.

2) Idiologi Intelektual

Idiologi ini adalah idiologi yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis atau religius yang pada dasarnya otoritarian. Secara umum, konservatisme filosofis ini mengubah praktik-praktik politik yang ada (termasuk praktik-praktik pendidikan), demi menyesuaikannya secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniyah yang sudah mapan dan tidak bervariasi.

3) Idiologi Konservatisme

Idiologi ini pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup tua dan sudah mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasan perubahan social yang konstruktif.

Adapun idiologi-idiologi liberal antara lain :

1) Idiologi liberaloisme

Tujuan jangka panjang idiologi ini adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Dengan kata lain bahwa sekolah adalah lembaga untuk menjadikan anak siap menghadapi kehidupannya.

2) Idiologi liberasionisme

Idiologi ini beranggapan bahwa kita musti segera melakukan perubahan berlingkup besar dengan tatanan politik yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan individu dan mempromosikan pendidikan mencakup sebuah spectrum pandangan yang luas.

3) Idiologi anarkisme

Yaitu idiologi yang menekankan perlunya untuk meminimalkan dan atau mengapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perlaku personal, bahwa kita musti, sejauh mungkin yang kita lakukan mendeinstitusionalisasikan masyarakat membuat lembaga bebas lembaga. Sejalan dengan itu dikatakan bahwa pendekatan tebaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempecepat perombakan humanistic beskala besar mendesak dalam masyarakat, dengan caa menghapuskan sistem persekolahan sekalian.

D. Pancasila Sebagai Idiologi Pendidikan Nasional

Berbicara mengenai idiologi pendidikan nasional, sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari diskursus tentang idiologi Negara Indonesia, sebab idiologi Negara merupakan suatu idiologi yang menjadi pijakan segala al kebijakan dalam kehidupan bernegara.[5]

Kita sudah mengetahui bahwa bangsa Indonesia memakai idiologi pancasila, akibatnya semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah berpijak pada idiologi pancasila. Sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kebijakan mengenai ekonomi, politik, hokum, pendidikan dan sebagainya harus selaras dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam idiologi pancasila.

Dalam proses pendidikan idiologi pendidikan harus sejalan sesuai dengan hakikat pendidikan, yaitu tidak menghilangkan makna pendidikan sebagai proses pemberdayaan. Kita lihat selama ini idiologi pancasila dalam proses pendidikan kewarganegaraan, eperti dilembaga pendidikan atau sekolahan telah menyalai akikat proses pendidikan seperti ditanamkannya sistem pendidikan menghafal atau dijadikan mata pelajaran yang diwajibkan untuk diujikan.[6]

Idiologi pancasila sebagai idiologi terbuka memerlukan pembinaan, yang dilakukan antara lain penghayatan terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kedalam kehidupan yang nyata dari peserta didik yang melibatkan perkembangan rasio dan emosi peserta didik dan bukan karena hafalan atau paksaan.

Keidiologian pancasila dalam pendidikan tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Keadaan pancasila bahkan seperti “pingsan dalam kedudukan”, untuk tidak mengatakan mati. Keberadaannya hanya sebagai symbol yang tidak berpengaruh atau berhenti pada dataran konsep yang tak pernah ingin dicapai. Dalam segi praktis, penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai-nilai pancasila oleh orang yang seharusnya mengamalkan semakin menjadi-jadi. Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah kasus yang selalu menghiasi Kejaksaan Agung kita. Malah semakin tidak logis, jika ternyata Departemen Pendidikan Aadalah Departemen yang terkorup setela Departemen Agama.

Kegagalan program pengembangan idiologi pancasila di masa lalu, seperti dalam program P-4 gagal larena terdapat sebua gap antara pengetauan teradap pancasila dan perbuatan yang tidak sesuai dengan pengetahuan tersebut. Demikian juga halnya dengan pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuknya di lembaga-lembaga pendidikan (dalam hal ini sekolah) dari tingkat taman kanak-kanak sampai kepada perguruan tinggi ternyata tidak mengasilkan apa-apa bahkan secara ironis tela menambah pengetahuan peserta didik bagaimana menyelewengkan nilai-nilai dari idiologi pancasila tersebut.

Berkaitan dengan hal di atas maka idiologi pancasila dalam proses pendidikan perlu mengembangka program-program pemantapan dengan emisal kajian-kajian rasional dari pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bermasyarakat oleh semua lapisan masyarakat.

E. Paradigma Pendidikan : Antara Idealita dan Realita

Seperti yang kita ketahui bahwa paradigma itu merupakan suatu model penelitian atau juga bisa dikatakan sebagai suatu model berfikir yang dianut oleh sekelompok manusia. Paradigma baru pendidikan nasional merupakan suatu konspirasi komitmen kelompok, tentunya pertama-tama bagi para pakar pendidikan, di dalam usaha meletakkan dasar-dasar yang paling rasional untuk mengubah praksis pendidikan guna untuk mengembangkan masyarakat yang baru.[7] Dalam kajian ini akan diuraikan praksis pendidikan yang lahir sekarang dan yang seharusnya. Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan itu berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi pada decade dewasa ini yang lebih cenderung kepada mengalienasikan program pendidikan dari kebudayaan. Sudah saatnya bagi kita untuk memerlukan perubahan paradigma dari pendidikan nasional sebagai proses untuk menghadapi dunia moderenisasi dan globalisasi serta kembali untuk menatap kehidupan masyarakat Indonesia. Cira-cita era reformasi tidak lain ialah untuk membangun suatu kesatuan masyarakat madani Indonesia. Maka dari itu paradigma pendidikan nasional hendaknya diarahkan pada terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.

Dalam hal ini di bawah kita akan mencoba untuk melihat beberapa strategi dalam pembangunan pendidikan nasional dalam rangka membangun masyarakat Indonesia yang madani :

1) Pendidikan dari, oleh, dan bersama-sama masyarakat

Pendidikan dari masyarakat artinya bahwa pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan dari masyarakat itu sendiri.[8] Jadi pendidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan atau proyek apa lagi perintah dari penguasa.[9] Seringkali serat dengan kepentingan tertentu. Pendidikan yang diharapkan adalah yang tumbuh dari masyarakat dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri.

Pendidikan oleh masyarakat dimaknai bahwa masyarakat bukan dijadikan sebagai lahan untuk pengadaan proyek dari pendidikan, demi berjalannya keinginan dari Negara maupun dari kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan, akan tetapi masyarakat lebih dijadikan sebagai subyek dalam pembangunan pendidikan nasional, dimana dengan dijadikannya masyarakat sebagai subyek dari proses pembangunan pendidikan tersebur masyarakat mempunyai peranan di setiap program yang dicanangkan dalam pembangunan pendidikan tersebut. Dengan demikian maka masyarakat tidak dipandang sebagai penerima belas kasihan dari pemerintah, akan tetapi suatu sistem yang mencoba untuk meletakkan kepercayaan seutuhnya kepada masyarakat dalam bertanggungjawab terhadap pendidikan generasinya.

Pada dasarnya pembangunan mengandung pengertian perubahan yang menuju perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan masyarakat. Dari situ dapat dilihat bahwa pembangunan adalah suatu proses yang sifatnya dinamis, sebagaimana kita ketahui pula bahwa proses pembangunan itu tidak hanya menghasilkan hal-hal yang mendekatkan manusia dan masyarakat menuju apa yang menjadi tujuan pembangunannya, tetapi juga biasanya dibarengi oleh hal-hal yang tidak dibarengi oleh hal-hal yang tidak direncanakan atau diinginkan. Proses pembangunan disamping berhasil menyelesaikan berbagai persoalan. Biasanya juga menghasilkan beberapa persoalan yang lain yang mungkin lebih banyak dan lebik ruwet sifatnya yang menuntut penyelesaiannya pula.

Hal itu disebabkan antara lain oleh keinginan manusia dan masyarakat untuk hidup semakinlebih baik dari hari ke hari. Dari situ dapat dilihat bahwa proses pembangunan sebenarnya bisa diumpamakan sebagai sebuah jalan yang tak mempunyai ujungnya, selama manusia dan masyarakat itu masih mempunyai hasrat dan ambisi untuk memperbaiki kehidupannya. Sungguhpun begitu, itu tidaklah berarti pembangunan tidak memiliki tujuan. Tujuannya jelas sudah ada, yaitu kualitas kehidupan manusia dan masyarakat yang semakin baik dalam segala aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial budaya, agama, politik dan lain sebagainya. Jadi, pembangunan dapat diartikan sebagai upaya manusia atau masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya secara keseluruhan.[10]

Proses pembangunan pada saat ini dalam prakteknya, lembaga-lembaga pendidikan kita saat ini, pendidikan lebih banyak mematikan otonomi masyarakat. Jenis program yang ditentukan oleh pemerintah tanpa alternatif dapat mematikan berbagai prakarsa dan eksperimen, termasuk juga di dalamnya mematikan para pendidik. Dampak dari hal tersebut out-put sistem pendidikan nasional kita berupa manusia-manusia robot tanpa inisiatif, dan tentu saja tidak dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di era globalisasi ini. Pendidikan oleh masyarakat bukan berarti melepaskan tanggungjawab pemerintah. Tugas pemerintah di dalam pendidikan nasional ialah menjaga dan mengarahkan agar supaya tanggungjawab masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya.[11]

Makna dari pendidikan bersama dengan masyarakat diartikan bahwa dalam pembangunan pendidikan nasional masyarakat dilibatkan secara langsung di dalam program-program pemerintah yang telah disetujui oleh masyarakat. Sebab hadirnya program pemerintah tentunya dari hasil peninjauan secara nyata terhadap kebutuhan yang diinginkan masyarakat[12]

Sistem pendidikan pada masa orde baru yang sentralistik dan birokratis, lebih menjadikan masyarakat sebagai objek penerima dari apa yang telah ditentukan oleh pemerintah, masyarakat hanya legowo dalam menerima hasil kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah dalam bentuk program. Semua kegiatan pendidikan diproyekkan sehingga masyarakat merasa terasingkan. Masyarakat tidak dapat merasa memiliki sehingga sering kali terjadi kegiatan tersebut berhenti seumur dengan proyek yang dikerjakan.[13]

2) Pendidikan yang disandarkan pada kebudayaan nasional yang bertumpu pada kebudayaan local

Pendidikan yang didasarkan pada kebudayaan menuntut pranata-pranata sosial untuk pendidikan seperti keluarga, sekolah haruslah merupakan pusat-pusat penggalian dan pengambangan kebudayaan lokal dan nasional. Kita ketahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak suku dan budayanya sehingga bangsa ini adalah bangsa yang bhineka. Setiap suku yang ada memiliki ciri khas tersendiri dari kebudayaan yang lahir dalam sistem kebersosialan yang ada pada suku tersebut, sehingga dengan baragamnya corak kebudayaan yang ada di nusantara ini menjadikan merupakan silang budaya antar bangsa telah menampung unsure terbaik dari budaya luar dan menghasilkan kebhinekaan kebudayaan.

Budaya local, budaya Hindu-Budha, kebudayaan Islam, kebudayaan Cina, semuanya telah mempengaruhi atau setidak-tidaknya bersinggungan dengan kebudayaan asli nasional. Unsure-unsur budaya lokal tersebut kemudian dikaji ulang dan dikembangkan sehingga dapat memberikan sumbangan bagi terwujudnya kebudayaan nasional.[14]

Dalam kenyataannya bahwa lembaga-lembaga pendidikan kita pada saat ini tidak lagi berfungsi sebagai motor untuk pusat pengembangan kebudayaan, jika ada yang diprioritaskan hanya pada aspek intelektual dari kebudayaan sedangkan aspek yang lainnya diabaikan. Demikian juga sarana-sarana pendidikan kita dewasa ini belum mendukung untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan pengembangan kebudayaan kita.

3) Proses pendidikan mencakup proses Hominisasi dan proses Humanisasi

Proses Hominisasi maksudnya pengembangan manusia sebagai makhluk hidup. Makhluk manusia harus dibesarkan agar supaya dia dapat berdiri sendiri dan memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kehidupan biologis yang membutuhkan makanan bergizi demi keberlangsungan hidupnya, kebutuhan seks, kebutuhan ekonomis, termasuk di dalamnya mempunyai lapangan pekerjaan sendiri.

Proses Humanisasi berarti manusia itu bukan berarti hanya sekedar dapat untuk mempertahankan hidupnya, tetapi manusia dituntut untuk dapat bertanggungjawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai moral. Tanpa adanya tanggungjawab tidak akan mungkin dapat tercapai suatu masyarakat yang aman dan tentram dimana kepribadian dapat berkembang.

Manusia dapat dianggap sebagai makhluk yang mempunyai potensi yang tidak terbatas, dalam arti bahwa manusia tidak mengenal dan mungkin tidak bisa mengenal semua potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut. Maka dari itu proses Humanisasi tersebut merupakan suatu proses yang terbuka dimana manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan serta penerapannya, penghayatan seni gerak, seni musik, seni patung dan sebagainya.[15]

4) Pendidikan Demokratis

Pendidikan demokrati yang merupakan tuntutan dari terbentuknya masyarakat madani Indonesia mengandung berbagai unsur :

a. Manusia memerlukan kebebasan politik. Artinya manusia memerlukan pemerintah yang memihak kepada mereka. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk mempunyai rasa keadilan dan toleransi demi tercapainya sistem pemerintahan dari dan untuk masyarakat. Jika tidak demikian adanya maka hak-hak politik rakyat tidak dihargai

b. Kebebasan intelektual. Kebebasan intelektual diperlukan karena suatu masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang menghargai akan kemampuan intelektualnya. Baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kesejahteraan masyarakat. Kebebasan intelektual merupakan syarat utama di dalam kemampuannya untuk memformulasikan sistem yang ingin dicapai demi terwujudnya kepentingan bersama.

c. Kemampuan untuk bersaing di dalam perwujudan diri sendiri. Ini menunjukkan bahwa setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Artinya setiap peserta didik tanpa didiskriminasi dengan pertimbangan-pertimbangan sosial, ekonomi, gender, asal usul dan sebagainya, diberikan kesempatan yang sama untuk mewujudkan dirinya sendiri dan mengembangkan potensinya untuk melaksanakan sesuatu yang terbaik

d. Pendidikan yang mengembangkan kepatuhan moral kepada kepentingan bersama dan bukan kepada kepentingan perorangan atau kelompok tertentu. Durkhem memberikan cakupan bahwa moralitas meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku[16] dalam bukunya Durkheim menyebutkan ada tiga unsur moralitas yaitu semangat disiplin, ikatan pada kelompok-kelompok sosial, dan terakhir otonomi penentuan nasip sendiri.[17]

e. Pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda. Proses pendidikan kita yang otoriter, baik di dalam keluarga, terlebih di dalam pendidikan formal, tidak memberikan peluang pada pengambilan alternative yang lain. Proses belajar dan mengajar yang monolog, sistem ujian yang tersentralisasi, menutup pintu bagi eksperimen. Dan menghasilkan manusia-manusia yang hanya dapat menerima hasil dari kebijakan yang ada, padahal sebenarnya pengakuan terhadap hak untuk berbeda adalah respek terhadap kepribadian seseorang.

F. Kesimpulan

Dari apa yang sudah di paparkan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : bahwa setiap kebijakan yang ada di Indonesia termasuk kebijakan dalam pembangunan pendidikan bertumpu pada azas idiologi Negara yaitu pancasila yang juga sebagai idiologi Negara.

Idiologi pancasila dalam kaitannya dengan pendidikan akan percuma saja jika idiologi hanya sebatas symbol belaka, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak pernah digubris. Jika kita menelaah bahwa idiologi pancasila ketika kita pertemukan dengan pendidikan maka bukan hanya sekedar memiliki nilai rasional belaka melainkan ada terkandung nilai emosional di dalamnya. Yang dapat mengembangkan inteligensi spiritual para peserta didik.

Berkenaan dengan paradigma pendidikan yang dijalankan selama ini dapat dilihat dengan empat indicator sistem pendidikan nasional :

1. Popularisasi pendidikan. Dimana peningkatan pendidikan dijadikan sebagai upaya untuk memutuskan mata rantai kemiskinan tidak berjalan dikarenakan peningkatan kuantitas pendidikan tidak sejalan dengan peningkatan produktifiras.

2. Sistimatis pendidikan. Diseragamkannya sistem pendidikan bertujuan untuk menciptakan kesatuan bangsa, namun apa yang diharapkan jauh dari tujuannya. Sistem yang diterapkan bukan menjadikan kesatuan bangsa melainkan timbul suatu sistem yang kaku, sehingga menutup pintu bagi inovasi dan eksperimentasi.

3. Proliferasi pendidikan. Praksis pendidikan di sekolah maupun di luar sekolah, telah menimbulkan multifikasi jenis dan sumber pendidikan yang mengabaikan pengaruh informal dalam pembentukan watak peserta didik.

4. Politisasi pendidikan. Pendidikan adalah alat untuk mempertahankan idiologi Negara, untuk mempertahankan kepentingan pemerintah yang berkuasa, sehingga tidak mengembangkan berfikir kritis yang menjadikan tujuan pendidikan yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M, “Filsafat Pendidikan Islam”, Bina Aksara, Jakarta : 1987.

Alfian, “Tranformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional”, UI Press, Jakarta : 1986.

Al-Syaibani, O.M.A. “Filsafat Pendidikan Islam” Alih Bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta :1979.

Ali Muhdi Amnur, “ Konfigurasi Politik Pendidikan Naional”, Pustaka Fahima, Yogyakarta : 2007.

Emile Durkheim, “Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan APlikasi”, terj., Erlangga, Jakarta : 1990.

H.A.R. Tilaar, “Kekuasaan dan Pendidikan” Magelang : Indonesiatera, 2003.

___________“Pendidikan kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia”, Remaja Rosdakarya, Jakarta : 2000.

Kuntowijoyo, “Paradigma Islam”, Mizan, Bandung : 1998.

Muhammad AR, “Pendidikan di Alaf Baru”, prismasophie, Yogyakarta : 2003.

Williem F. O’neil, “Idiologi-Idiologi Pendidikan”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 2202.



[1] H.A.R. Tilaar, “Kekuasaan dan Pendidikan” Magelang : Indonesiatera, 2003. dalam Intruksi, hlm, xxiii

[2] Arifin, H.M, “Filsafat Pendidikan Islam”, Bina Aksara, Jakarta : 1987, hlm..15

[3] Al-Syaibani, O.M.A. “Filsafat Pendidikan Islam” Alih Bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta :1979, hlm…14

[4] H.A.R. Tilaar, “Kekuasaan dan Pendidikan”…hlm. 117

[5] Ali Muhdi Amnur, “ Konfigurasi Politik Pendidikan Naional”, Pustaka Fahima, Yogyakarta : 2007, hlm..21

[6] H.A.. Tilaar, “Kekuasaan Pendidikan”…hlm. 124

[7] H.A.R. Tilaar, “Paradigma Pendidikan Nasional”, Rineka Cipta, Jakarta : 2000, hlm…63

[8] H.A.R. Tilaar, “Pendidikan kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia”, Remaja Rosdakarya, Jakarta : 2000, hlm…169

[9] Muhammad AR, “Pendidikan di Alaf Baru”, prismasophie, Yogyakarta : 2003, hlm…15

[10] Alfian, “Tranformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional”, UI Press, Jakarta : 1986, hlm.131

[11] H.A.R. Tilaar, “Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia”…hlm. 169

[12] Ali Muhdi Amnur, “Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional”…hlm. 25

[13] Kuntowijoyo, “Paradigma Islam”, Mizan, Bandung : 1998, hlm. 47

[14] Ali Muhdi Amnur, “Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional”…hlm. 26

[15] Ali Muhdi Amnur, “Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional”…hlm. 28

[16] Emile Durkheim, “Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan APlikasi”, terj., Erlangga, Jakarta : 1990, hlm. x

[17] Emile Durkheim, “Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan APlikasi”…hlm, 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar